My list

May 04, 2016

Naim - 1

“to sit here alone on this hard chair,
and looking into my palms,
all I could see was creases,
one, two, three,
countless of it,
and yet I could not take my eyes away.

I want to talk of the old times,
when I held your pinky with mine,
doing nothing but laughing and smiling,
and we walked around the park,
at times running like a little child,
and at other jumping like a child.

I missed that time,
back we were together,
talking about life, and work, and each other,
as if there would be no tomorrow,
we were mad,
I was mad,
for falling and wanting only to fall alone,
without you by my side.”

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Look, before I start freaking out, which I believed would happen soon, very soon, let sit this through and think slowly.” Aku menoleh ke belakang, kelihatan satu kerusi kecil. Tasteful design. Minimalist, yet chic for the setting. Aku duduk di kerusi tersebut. “Now, where was I just now?” ngomel ku sendirian. Bungkusan buah-buahan yang tersedia di atas meja nampak bodoh. “Now, I don’t know whether this is customary or the social convention, but, perhaps a practical gift would be better, aite”.

Beberapa biji epal, buah oren, pear, anggur dan buah-buahan lain. “At least they look fresh, and good.” Aku melihat keluar tingkap. Titis-titis hujan mula turun. Di hujung langit kelihatan cahaya matahari perlahan-lahan malap, turun dan menghilang untuk di gantikan cahaya bulan dan bintang. Wait, malam ni ada bulan ke? Well, whatever. Perhatian ku terhenti ke arah bunga calla lily putih di atas counter table. “Cheeky”. Kataku sendirian. I wonder who brought it here, since it looks fresh dan masih berbau harum. Bau bunga tersebut menyelubungi bilik ini.

You know what, it’s depressing to be in here. Aku menyeluk tangan kananku ke dalam poket seluar. “Great, I have it.” Aku berjalan keluar dari bilik tersebut. It feels kind of silly, tapi aku masih cuba membuka pintu untuk keluar. Hahaha. Walaupun aku dah menjangkakan yang tempat ini akan berbau seperti ini, but, that pungent, crisp smell of Dettol still had me taken aback. I wonder if I had my cigarette here anyone would notice. But again, maybe not.

Lampu jalan raya di hadapan bus stand sudahpun menyala. Kenderaan masih lagi memenuhi jalan raya. Balik kerja kot. Kerja? What day is it today? I can’t remember. Aku duduk sambil menyalakan rokok, ada beberapa orang lain yang turut duduk di sini, menunggu bas gamaknya. Yer lah, dah bus stand, takkan nak tunggu KTM pula kan. Berkepul-kepul asap keluar dari lubang hidung ku. But hey, it seems nobody cares.

I wonder what’s going on. I have no idea what day is it today. I wonder why I’m here at this hour. I wonder what could this actually means. And the worse part, I wonder why, why I have this feeling. You know, that uneasiness feeling when you felt something amiss and yet you can’t point a finger to what.

Sigh. Sigh. Sigh.

Sedang aku perlahan menghabiskan rokok ke tiga ku, tiba-tiba lamunan terganggu dek deringan lagu dari entah mana. Kacau lah, orang nak mengelamun. Aku kembali kepada rokok di jari ku. Dan lagu tersebut masih lagi kedengaran. Aku menoleh ke kiri dan kanan, mencari-cari tuan empunya telefon yang berdering. Tiada siapa pun yang mengendahkan bunyi tersebut.

Aku memandang ke kiri ku. Seorang lelaki muda, ku rasakan dalam pertengahan 20’an. Tak ada pula ku lihat dia memakai headphone atau earbud sampai tak dengar lagu yang sedari tadi tak henti-henti ni.

“Dik, ooo adik. Handphone berbunyi tu.” Kataku sambil melambai-lambai tangan di hadapan muka nya. Still, tiada reaksi. Biar jer lah. Aku perlahan bangun dan bergerak pergi. Namun, tak sampai 5 langkah, lagu tersebut kembali berdering. Secara pantas aku menoleh kebelakang melihat kembali mereka yang masih lagi duduk di bus stand tadi. Still, tiada siapa yang memberikan reaksi. Now, this is getting annoying. But wait, it seems weird. Kedengaran bunyi tersebut sangat jelas, seperti datangnya dari sebelah aku. “Tak kan lah”. Detik hatiku. Aku menyeluk ke dalam poket kiri seluar ku dan aku mencapai sesuatu yang aku ingatkan tidak akan berfungsi. Handphone ku. “Private number” tertera di screen. Now, this is awkward. Aku menjawab panggilan tersebut. “Erm, hello.” Kataku pendek.

“Finally, angkat juga kan.”

“Herm, siapa ni?” Tanya ku sambil tidak mengendahkan remarks tersebut.

“Where are you? I’ve been looking for you for the last 10 minutes. I only been away for a while and you’re not in your room.”

“I’m at the bus stand.”

“Don’t move an inch.” Balasnya lantas panggilan tersebut di matikan.

That was rude. And weird. And interesting. Now, aku tak tahu samada mataku menunjukan satu silap mata, atau, otak ku semakin mereng akan apa yang telah aku lihat sepanjang hari. Tapi, trust me on this, out of the sudden, there was this young guy, standing right in front of me, staring right into my face. It was like, at one point there was nothing, and now, there’s him. Aku yang masih lagi terperanjat merenung kembali ke mukanya dan sekali sekala menoleh ke kiri dan kanan. Depan dan belakang.

“Now, that is an intriguing reaction.” Tiba-tiba lelaki tersebut berkata.

“You… you’re talking to me?” hanya itu yang keluar dari mulutku.

“Do I looked like I was talking to someone else?”

“You can see me, then?”

“Obviously. If I wasn’t then how was I supposed to be able to call you, and talked to you, and standing here in front of you.”

“But, how?”

“Let just say, I can. Now, tell me. What are you doing here?”

“What do you mean, here? I don’t even know why I’m here at this hour.”

“I mean, why are you not in your room? I left you a note to just stay put till I’m back.”

“Note. You cakap pasal note apa ni.”

“Note atas meja. Right next to the flower vase.”

“Owh. Tak perasan.”

“Herm… very well then. Now, tell me, what are you doing here?”

“I was, smoking.”

“Smoking? In this situation?”

“I… I don’t think I get you.”

“Never mind then. Let’s get back to your room.” Sejurus kemudian lelaki tersebut terus hilang dari pandangan mataku. Now, that’s spooky. Way spoooooookkkkkyyyyy. There wasn’t any white or black smoke left. Nor there was any gust of wind when he went, poof. Nothing. None. Is he a magician? Itu tak masuk akal. Angel? Devil? Ups. Memikirkan kemungkinan yang dia mungkin syaitan membuatkan seluruh badanku menggeletar. I wonder if it’s a good idea to go back to that room, if he is indeed a devil. Aku mula berjalan ke arah berlawanan dari situ, perlahan-lahan aku berlari tak tahu ke mana. Setelah hampir 100 meter dari tempat tadi, aku berhenti. I think I’m safe from that devil. Tiba-tiba bahu ku di cuit dari belakang.

“What are you doing?” kedengaran suara lelaki tadi. Dia yang berdiri di belakang hanya tersengih, somehow I felt like being toyed, and, rasa nak sepak jer.

“I said, let’s get back to your room, and why are you running away?” katanya lagi.

“I must be mad.”

“You do act like one, at times.”

“Are you, …. the devil?” tanya ku.

“Oy. Do I looked like one?”

“How the hell should I know how does the devil looked like.”

“Hahaha. Betul juga tu.”

“Then, an angel?”

“Awwww. That’s the nicest complement I’ve ever had.”

“So, you are, an angel then?”

“No.” jawab lelaki itu pendek sambil tersenyum.

“Then, you just, poofed. Hilang. Tak ada angin. Asap apa. You can’t be a wizard.”

“Don’t you think that you watched too much movie?”

“What?

“Never mind then. Now, tell me, why did you run?”

“Because… you’re spooky.”

“Maksud aku, kenapa kau berlari? Kenapa tak, poof?

“I’m not a wizard.”

“And that doesn’t mean that you can’t.”

“Wait, I can?”

“Of course you could, you dufus. Don’t you know?”

How the hell should I know?!! There’s no fucking guidebook on living this life.”

“That’s true. Never mind then. Now, hold my hand.”

Aku hanya menurut, seketika kemudian, poof. We’re back to the previous room. He didn’t say a word after that for a while. He was just looking away through the window. As if, he was waiting for something to happened. “What are we doing?” tanya ku. Dia tidak menjawab. Pandangan matanya masih lagi tertumpu ke luar jendela. “Waiting.” Balasnya pendek.

I wonder who is he, on how he’s able to see and talk to me. Not to mentioned with his ability. And, what is he doing here, in this room, all three of us. It doesn’t take long before this waiting game comes to a halt, apabila, tiba-tiba, pintu bilik di buka perlahan, dan masuk seorang lelaki. Dia kelihatan sedikit kurus, dan penat. Mungkin kerana hari yang agak panjang bagi dia. Perlahan dia meletakan beg bimbit yang dibawa bersama di atas meja. Lantas jambangan bunga calla lily di dalam pasu tersebut di tukar dengan sejambak yang baru dan segar. Kemudian dia menghidupkan ipod yang telah di docked kan di atas meja. Perlahan, suatu lagu yang tidak bisa ku takrifkan. Buat seketika lelaki itu hanya duduk terdiam memegang tangan lelaki yang berbaring tersebut. Hanya lagu tersebut yang memecah keheningan. Sehingga tiba-tiba, lelaki/the devil tadi menyanyikan sesuatu mengikuti lagu tersebut.

“Combien de farces, combien de farques
Combien de traces, combien de masques
Avons-nous laisse’ la’-bas?

Poser les armes
Trouver le calme dans ce vacarme
Avant que je ne m’y noie”

Aku melihat ke mukanya, dia masih lagi memandang keluar, tidak berkelip buat seketika, namun, riak wajahnya sedikit berubah sementelah kehadiran lelaki tersebut di  bilik ini.

“What was that?”

“le chant de sirens”

“Get well soon, and wake up. We’ll go bungee jumping, watch Star Wars together, having Belgian waffle for breakfast, dye our hair to ashes grey and many more. I’ll be waiting. I’ll wait for the time when we’re finally going to Amsterdam. Don’t worry, I’m not mad when you stood me up. I understand.” Sejurus kemudian dia mengucup perlahan dahi lelaki yang terbaring itu lantas beransur meninggalkan kami bertiga di dalam bilik ini. I don’t know why, but I was hoping that he would stay for a little while. But perhaps, it’s hard for him. That face. How I wished that I could see his smile.

“We need to talk.” Kataku memecah kebuntuan.

“That’s a good idea. Now, tell me, what do you want to talk about?”

“No, I’ll ask, and you will answer me.”

“Fair enough. Ask.”

“Who are you?”

“I’m neither an angel nor a devil. I neither exist nor have I perished.”

“What do you mean by that? A riddle?”

“That is for you to find out, for I could not say a word about my existence to you even if I want to. All I could say, take your time, and think. Then you’ll know who am I.”

“What’s your name?” tanyaku lagi.

“Al”

“Al?”

“Al”

“Why are you here? Why are we here? Is this a dream?”

“Because we’re in between 6 and 7. And no, this is not a dream. It’s the present.”

“Owh.” Balasku pendek. “And were you here to help me with it?” tanyaku lagi.

“I’m not.”

“Then why are you here?”

“Because there is something that I need to do.” Dan belum sempat aku bertanyakan apa yang perlu di lakukan oleh Al, he said, “Don’t. Don’t ask me that question.”

“What’s going on here?” tanyaku kepada Al.

“Perhaps we should take things one at a time.”

“Who’s the guy with the lily?”

“He’s Naim. Khairunnaim.”

“And who is he?”

“A lover, yet a friend.”

“Of whom? Yours? Him?” Tanyaku sambil menunjukan kepada lelaki yang di atas katil tersebut.

Al hanya tersenyum. Tidak memberikan sebarang jawapan.

“So what about now?”

“Ask me those questions. Those questions that you’ve been wanting to ask.”

“I don’t know whether I want to know the answer.”

“True. You don’t need to know. But, would that helps?” balas Al, sinis.

“Au gre’ des saisons, des Photomatons,
Je m’abandonne a’ ces lueurs d’autrefois,
Au gre’ des saisons, des decisions,
Je m’abandonne” nyanyiku.

“So, you remember.” Kata Al.

“Only that song.” Kami terdiam seketika. Al kemudian memandangku. Tiada kata yang di ucapkan. Aku mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakanya. Ku sedut sedalam yang mungkin, sebelum perlahan ku hembuskan ke udara. “He... that man on that bed, that man with the name Zahrain, that’s me. And I’m, him. Right?”

And Al simply answered, “Yes”

October 19, 2015

Batu - Satu

Bagiku waktu dan masa sudah lama berhenti berdetik. Tiada makna lagi dan tiada keperluan untukku mengikuti ruang waktu yang pergi meninggalkan aku tanpa henti, dan tanpa mengendahkan diriku. Entah sudah berapa lama, aku sudah berhenti melakar coretan di dinding sebagai panduan diriku. Terkadang, kurasakan yang waktu bergerak perlahan, terkadang pula seakan-akan berhenti untuk selamanya. Kurenungi, tiada bezanya, sementelah, aku akan terus berada di sini. Hari semakin sejuk kurasakan, tattala titisan hujan mula turun membasahi dinding luar, sekali sekala, angin bertiup kencang, membawa arah hujan yang turun memukul perlahan ke arah dinding ruang kecilku ini. Kesunyian malam kini telah pun dikhianati.

Aku bangun dari lantai keras simenku, perlahan-lahan aku berjalan, dari tapak kaki ke tapak kaki, kurapatkan tapak kaki kanan ke hadapan kaki kiriku, lantas ku ulang dengan kaki kiriku. Satu demi satu. Aku berjalan ke segenap pelusuk ruangan kecil ini. Hanya 36 langkah yang diperlukan untuk aku habis mengelilingi kamar ini. 9 langkah lebar. 9 langkah panjang. Aku kemudian tersandar di dinding. Dapat kurasakan beberapa lakaran-lakaran kasar yang telahpun terukir di sini untuk sekian lamanya. Aku tidak perlukan bantuan cahaya atau melihat ia. telah ku tahu apa yang terukir di dinding tempat ku bersandar. Ku dongak sedikit ke atas, memandang ke hadapanku. Dalam kesamaran malam, sebuah segi empat tepat kecil, lebih kurang 3 jengkal lebar dan 3 jengkal tinggi, menghiasi ruangan ini. Dahulu, tersergam indah 4 jeriji besi tulen yang mendepangi segi empat kecil itu. Namun, itu dahulu. Sekarang, ruangan itu telahpun digantikan dengan konkrit teguh. Ia hanya sebuah memori. 

Di sebelah kanan pula, tersedia sebuah lubang tandas. Bau yang kurang enak sering kali keluar dari lubang kecil itu. Bau busuk, hancing, tidak putus-putus terhasil, namun, aku sudahpun belajar untuk tidak mengendahkan semua itu. Di satu sudut yang lain pula, tersedia sebiji koleh plastik berwarna biru, mungkin cukup untuk menampung lebih kurang 1 liter air. Sehelai baju kapas putih berlengan pendek warna oren terang, dan sehelai seluar panjang putih, bersama sehelai seluar dalam putih tipis, ala-ala boxer bentuknya. Hanya itu semua yang aku miliki di saat ini, selain empat dinding konkrit kukuh yang menjadi penemanku untuk sekian lamanya. Di dinding ini juga tersemat kukuh 2 gegelung besi setebal satu inci, yang mana akarnya di tanam jauh kedalam dinding, hampir 5 kaki dari lantai. Tiada apa lagi. Tiada sebarang kemewahan. Itu semua hanyalah angan-angan. Tiada katil. Tiada tilam. Tiada bantal mahupun selimut. Tiada apa. Hanya satu garis putih di lantai menghadap ke pintu besi bilik.

Aku yang hanya berbogel di setiap masa di dalam ruangan ini, mengambil koleh plastik yang masih berbaki sedikit air sebelum bergerak ke lubang kecil tersebut. Lantas, aku duduk mengcangkung di atas lubang itu, dan membiarkan badanku bergerak dengan sendirinya. Perlahan-lahan, najis keluar dari duburku. Aku membetulkan posisiku pabila najis yang keluar tidak terus masuk menuju ke lubang tersebut. Hampir beberapa minit kemudian, aku selesai dan air yang berbaki di dalam koleh ku gunakan untuk mencuci dubur dan menjirus air ke lubang tersebut. 

Aaahhhh, agak sejuk cuaca waktu ini. Hujan masih lagi membasahi bumi. Mungkin, musim hujan telah pun tiba agaknya. Badanku ku rendahkan ke lantai, dengan kedua tanganku di depangkan di kiri dan kanan badanku. Kakiku ku rapatkan, lantas dalam kiraan 3, aku turun merapati badanku ke lantai, dan ku bangkit semula. 1. 2. 3. 4. 5... cukup 20 kali. Setelah itu, aku berbaring di belakangku, dan kedua tanganku ku silangkan ke dada, bahagian atas badanku ku bangunkan lebih kurang 65 darjah, dan aku berhenti seketika. 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108. Hatiku berdetik, sebelum melengkapkan 90 darjah dan kembali berbaring. Ku ulangi untuk 20 kali, sebelum aku berehat untuk beberapa detik. 4 lagi set ku ulang selepas itu dengan di selang selikan dengan rehat seketika. 

Kesunyian hari tiba-tiba hilang pabila kedengaran beberapa ketukan keras. "Bangun bangun!" Satu suara keras tiba-tiba bergema. "Berdiri di tempat masing-masing!" Jerit suara itu lagi. 

"Sudah pagi rupanya", detik hatiku. Aku bingkas bangun dan mengambil tempatku. Garisan putih di lantai menandai di mana aku harus berdiri. Seketika kemudian, kedengaran bunyi selak dari pintu bilikku. Satu tingkap kecil muncul, di paras lebih kurang mukaku. 

"Nombor badan." Sekali lagi suara itu kedengaran. 

"304021771, Tuan." Balasku

Kemudian tingkap kecil di pintu itu ditutup kembali, Aku lantas kembali berbaring, di lantai keras, dengan baju dan seluarku ku gulung kujadikan bantal kecil, sebagai alas kepalaku. Mata kututup seketika, tangan kiriku kurehatkan di dahi. Aku bersiul kecil sendirian. Bunyi siulanku memantul kembali, bergema memenuhi ruangan kecil ini. 

*     *     *

"Johan, jooohannnn. Aku dataangggg. hehehehehehehehe. Johan nak lari? Awwwwww, kau nak main kejar-kejar yek. Hahahahaha. johan, joohannnn. Hahahahahahahaha."

Aku dapat melihat kelibat dia di hujung mataku. Dia yang berbogel, kulihat berlari dariku. Perlahan-lahan aku mengekori dia. "Kau pergi mana tu? Aku dekat sini ni. Hahahaha. Jangan lah lari jauh-jauh."

"Apa yang kau nak buat dekat aku?" tanya dia. Suara ketakutan mengkhianati dirinya. 

"Ala, kita kan nak main kejar-kejar sahaja. Herm. Shhhhhh!" kataku sambil jari telunjuk kiriku di bibir. 

"Shhhh, senyap. Nanti aku akan tahu kau dekat mana. Tak seronok lah." Aku berjalan merapati ruangan dapur. Langkahku terhenti sejurus sebelum memasuki dapur. Perlahan-lahan aku bersandar di dinding. 

"Johan. Joohannnn. Aku datang." kataku lantas terus menjengah masuk kedalam dapur. Johan tidak kelihatan. 

"Hehehehe. Pandai kau sorok Johan. Kau dekat mana?" Aku menuju ke tengah dapur. Kelihatan sebuah kaunter marmar tersedia di tengah dapur itu. Selangkah demi selangkah, aku merapati. Tangan kiriku mencapai kaunter tersebut, terasa sejuk di hujung jari jemariku di saat menyentuh permukaan kaunter itu. 

*     *     *

"Tang, tang, tang!" Pintu besi bilikku di hentak sedikit keras dengan tiba-tiba. "Batu, sarapan."

Aku bangun, lalu koleh plastik ku capai dan seketika kemudian, satu lagi tingkap kecil dibahagian bawah pintu kemudian dibuka. Aku menghulurkan koleh tersebut melalui lubang tersebut. Kedengaran bunyi air mula memenuhi koleh. Setelah mengambil kembali koleh yang telah diisi itu, satu penyodok besi pula muncul dari lubang tersebut, bersama 2 ketul roti. Ku lihat, di dalam koleh itu hampir penuh dengan air milo cair. Perlahan-lahan roti yang diberikan ku carik kasar, lalu kucelup kedalam air sebelum masuk ke mulut. Roti yang sedikit lembut itu ku kunyah lama, dan ku selang selikan dengan air sebelum menelanya. Manis, kemanisan itu menjengah ke seluruh pelusuk ruangan mulut sebelum hilang begitu sahaja di mamah masa.

Kadang-kala, aku mahukan kemanisan yang pernah aku rasai suatu ketika dahulu. Kemanisan yang telah lama hilang dari genggaman tanganku. Kemanisan yang tidak akan lagi dapat ku rasai untuk selamanya. Sungguhpun demikian, aku sudah puas, keinginan itu tidak beraja lagi di di dalam benak fikiranku. Kemanisan dan kepuasan yang ku cari sebelum ini telah aku penuhi, dan sekarang, aku tidak lagi memerlukan ia. Cuma, sekali sekala, hatiku terdetik, tattala fikiranku melayang, disaat aku mencuba untuk mengingati kemanisan itu.

“Aaargh….” Keluhku lembut.

Setiap kali aku terkenangkan Johan, aku akan selalu terkenangkan senyuman dia. Senyuman yang lebar, dengan bibir yang merah kehitaman dek kerana dirinya seorang perokok tegar. Kali pertama memori aku memandang dia, dia melihat tepat kedalam mataku. Senyuman itu tidak putus-putus kelihatan. Aku merasa tenang sekali, sungguh pun di waktu itu aku tidak dapat mengerti mengapa. Raut wajahnya agak bersegi, menampakan tulang rahangnya yang jelas, dan mata yang tidaklah begitu besar, namun, sedap di pandang.

Setiap perincian wajahnya dapat ku ingati dengan begitu teliti. Seperti anak kecil, tanganku melewati setiap inci wajahnya, perlahan-lahan dahinya ku sentuh, kelihatan, dia mengerutkan dahinya sedikit dan dia tertawa kecil. Dia memegang lembut wajahku, tangan kananya mendongakan daguku, supaya dia dapat melihat diriku dengan lebih jelas.

*     *     *

“Betapa aku rindukan sentuhan manja darinya.” Bisikku sendirian. 

Sentuhan yang acap kali hadir dan memenuhi kepuasan diri ini. Sentuhan yang penuh dengan kelembutan dan kehangatan. Namun kadang-kadang, sentuhan itu juga penuh dengan kebencian dan kekasaran.

Kemudian tangan gagahnya itu perlahan-lahan bergerak turun. Aku dapat merasakan helaian bulu lembut, bulu yang nipis membaluti tanganya itu, menari-nari di saat itu. Betapa aku bergetar, pabila di perlakukan sedemikian.

Lantas kemudian, tanganya berhenti. Bahagian belakang jarinya perlahan menuruti leherku, sebelum dengan kemas, dan dengan penuh berhati-hati, ia mula menjalar ke sekeliling leher kecilku itu, sehingga telapak tanganya kini memenuhi permukaan, dan leherku hilang dari pandangan. Sedikit demi sedikit, tanganya mula menyempit. Aku merengek perlahan, cuba untuk mengatakan yang aku berasa tidak selesa. Matanya yang bersinar lembut itu masih lagi memandang kedalam pandanganku. Tidak sekalipun ia berkelip, mahupun beralih arah, walaupun untuk seketika. Rengekanku menjadi semakin nyaring. Namun, tangan itu masih lagi tidak berhenti. Dapat kurasakan yang tangan itu dengan bersahaja dan tanpa sebarang usaha meneruskan perlakuanya.

Namun tiba-tiba ia berhenti. Tangan itu yang masih lagi di leherku tidak berganjak walau seinci, namun, tiada lagi walau secebis kekuatan yang kurasakan.

“Mungkin waktunya belum tiba. Mungkin kau akan berguna untukku satu masa nanti.” Katanya perlahan, sebelum aku kembali di letakkan di bawah dan terus dia berlalu pergi.

*     *     *

Kegelapan dunia kecilku telah beberapa ketika hilang meninggalkan diriku. Kedinginan hari yang sedari membaluti seluruh inci tubuhku ini beransur-ansur hilang. Mataku yang masih lagi terpejam, membuatkan deria ku yang lain menjadi lebih fokus. Tiada lagi rintik-rintik perlahan yang kedengaran dari luar. Hujan sudah pun berhenti memberikan laluan kepada sinaran matahari yang memancar. Perlahan, mataku ku buka, dan ruangan kecil ini sedikit terang dari yang sepatutnya. Kegelapan yang selama ini tidak pernah gagal untuk hadir di kemudian hari telah lari bersembunyi. Di dinding, kelihatan satu garisan cahaya nipis.

Cahaya itu merupakan antara peneman setia untukku sejak aku mula menghuni ruangan ini. Pada mulanya, ia seakan-akan mengingatkan aku akan pergerakan masa di luar sana. Ia tidak pernah jemu untuk berbisik kepadaku. Bisikan yang senantiasa kedengaran di dalam kamar parietal, menyatakan yang dia disini. Menyatakan yang dia disebelahku.

Senantiasa, pabila hari berganti hari, aku menantikan kehadiran teman ku ini. Dia yang dimaksudkan, tidak hanya berdiri di sudut itu. Di sudutnya. Tidak walau sedikitpun ia berganjak. Dia hanya berdiri di situ, memandang tepat ke dalam mataku. Kadang-kala, kelihatan seolah-olah dia tersenyum sendirian. Namun, mungkin itu hanya mainan fikiranku. Dia tidak berkata-kata walau sepatah. Namun, aku tahu. Aku mengerti. Aku fahami. Apa yang bermain di benak fikiranya itu.

Susuk tubuh itu amat ku kenali. Dia yang hampir sama ketinggian denganku, rambut hitam lebat dan tersisir rapi ke hadapan hampir 30 darjah, sebelum terjungkit di hadapan. Di satu dua tempat, terlihat kelibat rambut putih. Jambang nipis seakan-akan baru dibiarkan tumbuh beberapa hari, memenuhi dari bahagian pipi kiri ke kanan. Matanya seperti biasa, memberikan pandangan yang tidak bermaya. Di waktu ini dia tidak tersenyum, dan tidak juga sebaliknya. Tiada apa yang kurasakan darinya. Helaan nafas panjang dan dalam memecah kesunyian dan menyatakan dia ada di situ. Tetap di situ. Dan akan kekal di situ sehingga aku pergi bersama-samanya.


Kelibat itu hilang pabila aku membuka mataku. Helaan nafasnya juga turut terhenti, kamar ini kembali sunyi sepi. Aku melihat ke sekeliling. Tiada apa yang berubah.

September 29, 2015

Homosexual... truthfully, I hate that accursed word for it be such a circumscribed context to it... it, it has such a negative connotation where everything revolved around sex. sex. sex. sex... was it the only thing that can be associated with a man who like me? what about my emotion? my feelings? my thoughts? my lifestyle? why does it always have to be with sex? why does it always have to be about self-fulfilling or even stereotyping? to have yourself to be looked upon by the so-called majority or the society only based on who you're fucking the other night over and over again. Hell! it's annoying to note that after aeons, we are still being dictated by the notion of symbolic-interaction.

George Herbert Mead proposed that everything is based upon the criterion of truth, our self of sense constituted, and the result of ongoing social process... unfortunately, after thousands, perhaps hundreds of thousand years ago, mother-nature should stop our great, great, great great ancestor from evolving into homosapiens. it would be very much interesting to imagine on what gonna happen if natural selection process made Ant as the prime species on this world. yeah. Ants.If I were to sum-up humanity in one phrase, perhaps the best would be as what Plautus said more than a thousand years ago; lupus est homo homini, non homo, quam qualis sit non novit (for man is no man, but a wolf, to a stranger. throughout history, humanity brings nothing but destruction to others. remember when spanish conquistadors decimated the Inca, Maya and Aztec civilizations? or when Caesar decided to burnt down the great library of Alexandria simply because he wanted to re-established the history, just like the ISIS destroying Palymra, Mosul, Nineveh and many other sites? Tuskegee, Soviet, Hiroshima and many more? it seems we have forgotten all these... all these while we tried to justify our act with either liberation, enlightenment, salvation, redemption, but yet, we chose not to use the right word for it...

this, so-called unnatural behaviours or acts, were used as the basis for labeling, for stigma. it's not the individual action, rather the social action which dictate who we are...

it's nauseating enough when a segment of population seems to favour pascal's wager. but, it's more sickening when they tried and tried and tried to imposed those believed to others... I have no qualm for anyone who keeps on seeing pareidolia, or, believing in pre-destination, or even subjugation... hey, it's your life, so it's up to you what you want to do about it... and for me, it's insulting for me to even considering pascal's wager, trying to comprehend pre-destination, or unfounded subjugation... that's me... If i could have the balls respecting your believes and thoughts, what makes you think that you could dangle your balls in front of my face each time and not expecting me to snap it off?

So perhaps we should start embracing ourself as gay, rather than a homosexual. after all, it's more than just sex. it's more than just that... it's about our life, our lifestyle, our emotion, our feelings.but hey, if u're happy with labeling urself as homosexual, by all means, it's all yours... for I'm always a gay men. 

Janji - Satu

He was still fast asleep when I finished my morning bath. With only in a white boxer brief, slowly, with slightly damp bathrobe and used towel in my hand, I opened the bathroom door and hang up those 2 things. I sat at the corner of the bed, clasping my watch onto my left wrist and looked for all my other belongings. I could hear his deep, slow and rejuvenating breaths, into an unknown but yet steady rhythm. It was, nice, seeing him to not say anything. It was, serene, when he's not moving an inch, but for his chest. 

There was a white, clean, and crisp paper left on the table, with something scribbled on it. 

"Thanks for the night. I'll text you again later. I've paid the room so just return back the access card later when you're up."

*************************************************************************************

Seseorang itu tidak akan pernah melupakan saat manis ketika kali pertama hati ini mula-mula terusik atau kata-kata manja yang diluahkan oleh si dia. Dia juga tidak akan pernah melupakan betapa berbisanya racun asmara yang meresap masuk ke seluruh pelusuk hati dan tubuh. Perlahan-lahan, ia menjalar dan beraja di dalam. Tiada pernah lepas dan tiada pernah lelah, setiap nafas yang di hela, semakin dalam cengkaman bisa itu. Apa mungkin, kalau-kalau racun itu hilang, atau pudar di telan masa. Setiap ulitan mimpi yang menjengah malam hari tidak pernah sekalipun meresahkan dirinya di pagi hari. Seorang pencinta tidak akan pernah melupakan, masakan sekali dia mampu pulih dari bisa yang ditinggalkan. 

Kali pertama aku berjumpa denganya, jantungku berdebar dan hatiku berdetik. Entah kenapa, lidahku tidak mampu untuk mengucapkan kata yang cuba untuk ku lafazkan. Kaku, tangan ku hulur dan salam ku berikan. Senyum di bibir mula mekar pabila dia menyahut tangan yang terhulur dan memberikan namanya. Nama yang buat selamanya tidak mungkin aku padamkan.

***********************************************************************************

Setelah seharian yang memenatkan, akhirnya aku bersendirian memandu pulang ke rumah. CD Couer de Pirate ku mainkan lantas ku cari lagu mistral gagnant dan ku mainkan. Satu haram pun aku tak faham. No hablar frances pero solo parace agradable por me. Y es una memoria que no podia olvidar...

Petang tadi Nizam singgah sebentar ke pejabatku bertanyakan khabar. Hubungan kami berdua bukan sekadar rakan sepejabat, ada ketawa, ada jeritan bingit dan begitu lah. Namun, persahabatan yang terbina sejak beberapa tahun seakan-akan perhubungan Vidal dan David di dalam El juego del angel karya Carlos Ruiz Zafon. 

"How's everything?" Tanya Nizam. 

"Just the usual, I would say." Balasku. 

"Aku dengan Ina ada buat makan-makan sedikit malam minggu ni. Hari Sabtu dalam pukul 1 lebih kurang. Datanglah."

"Makan-makan apa jer?"

"Alah, makan-makan biasa je, dengan kawan-kawan. Lagipun si Isha tu selalu tanya bila uncle Kamahl dia nak datang melawat."

"Hahahaha. So maksudnya kalau Isha tak tanya ko tak ajak aku lah ni?"

"Isk, ada pula macam tu."

"Aku bergurau jer lah. So Isha dah sehat sepenuhnya dah dari demam campak dia?"

"Dah, dekat kering dah sumer. Tinggal berbekas sedikit je. Nanti beberapa minggu lagi hilang lah tu."

"Bagus lah tu kalau macam tu. Alah, budak-budak, biasa lah tu kena demam campak. Biar kena masa kecil ni, tak de la berparut nanti."

"Itu lah. Kesian juga aku tengok."

"Yang penting dia dah sehat." 

"Dah nak pukul 6 dah ni. Kau kemana jer lepas ni?"

"Ntah. Balik rumah jer la kot."

"Malam minggu kut malam ni. Esok lusa cuti, takkan balik rumah terus? Ko ni, nama jer bujang, tapi mengalahkan anak 3 dekat rumah. hahahaha."

"Bengong ko kan. Hahahaha. Tengok lah nanti kalau aku singgah ke mana-mana ke. Nak ajak ko keluar, confirm ko kena balik sebelum pukul 9 malam punya."

"Yer la, anak bini tunggu kat umah ooo."

"Hahahaha. Kan, berkepit jer dengan Ina 24 jam."

"Of course, kalau lama-lama Ina tak dapat ketiak kepam aku ni, mahu dia pening kepala runsing ooo."

"Sengal."

"Ketiak lelaki boleh kurangkan stress perempuan ok. Itu international study punya finding."

"Hahaha, banyak lah. Ko ni pun, dah tak ada benda lain nak sembang kan. Ketiak pun jadi."

"Hehehe. Ko pulak? Bila nak cari orang rumah?"

"Ke situ pulak ko ni. Tunggu lah nanti bila ada rezeki. Kalau ada, adalah. Kalau tak ada, mungkin lambat lagi lah tu."

"Kau tu yang sebenarnya tak mencari. Asyik kerja kerja kerja. Cuba lah luangkan masa sikit untuk diri sendiri."

"Kerja tu lah yang bayar duit rumah, kereta aku Nizam oooi."

"Itu aku tahu lah. Tapi ko ni bukan nya muda lagi pun. Tak lama lagi dah nak masuk 3 series dah. Tengok aku, Isha pun dah nak masuk 3 tahun dah. Tunggu masa jer nak beradik Isha tu. Hahaha."

"Tengok lah. Kalau ada rezeki adalah tu. Bercinta, biarlah jadi pasangan hidup seumur hidup. So, of course lah kalau boleh nak yang kekal. Lagipun, kalau cinta tu mudah sangat nak jumpa, takkan nya kita nak hargai kan."

"Fuuuu. Berfalsafah panjang lebar. Dalam hati ada taman jugak rupanya kawan aku sorang ni."

"Hahaha dah tu ko ingat aku hati batu ker?"

"Lebih kurang lah."

"Sengal."

February 26, 2015

Dia - Trivia Dia di Hatiku

Seperti yang semua sudah ketahui, "Dia di Hatiku" sudah pun berakhir... mungkin pengakhiranya seperti yang telah di jangkakan dan mungkin juga tidak. it has been a long journey for me to write it, to edit it and to decide which part should I post in here and all...

sebenarnya, pada awal penulisan dahulu, aku tak pernah bermimpi bahawa perjalanan ini akan di baca oleh orang lain kerana niat asalku hanyalah, ianya suatu memoir... tidak lebih dari itu... namun, aku berterima kasih di atas segala komen yang diberikan, segala sokongan (sekiranya ada) dan keizinan korang untuk aku curi sedikit masa bagi membaca apa yang telah aku tulis... and for that, thank you...

aku tahu ada masanya aku membuatkan korang rasa tergantung dengan bahagian seterusnya apabila aku tidak update untuk beberapa ketika... bukan tak nak, cuma tak ada masa... kadang-kadang, 24 jam tak cukup dalam sehari... 

anyway, here are several trivia about this story that might be interesting to you guys...

1. Pada permulaannya, aku berniat untuk menamatkan cerita itu di penghujung bahagian 2, chapter 41 yang mana Khai meninggal dunia selepas kami kemalangan. tapi setelah beberapa ketika, aku merasakan yang penghujung seperti itu agak depressing, so, there goes part 3 of the story. 

2. Aku selesai menulis chapter terakhir seperti yang korang baca pada pertengahan 2014... hahaha... yup, sebenarnya cerita ni dah lama siap... cuma aku kadang-kadang terlalu busy untuk edit, dan kadang-kadang langsung lupa untuk update kat blog... sorry...

3. Version tak edit sebenarnya ada 59 chapter... maksudnya 7 unreleased chapters... masa tengah edit2 aku rasa macam tak perlu nak upload, so aku keluarkan dari versi blog ni...

4. Document asal ditulis dalam microsoft word, with Palatino Lynotype as font dengan size 12. So, in total, ada 605 pages... kalah thesis phd. hahahaha

5. Aku selalunya menulis pada waktu malam, stay up sampai rasa dah puas nak menulis... 

6. Kalau korang ingat, ada beberapa lagu dan puisi yang aku masukan dalam chapter2 tertentu... bab puisi tu, itu adalah karya asli aku k... bukan ciplak mana-mana... lagu tu, hehehe, google jer...

7. Aku masih lagi simpan surat yang aku tulis selepas aku di diagnos dengan HIV... surat tu aku bawa ke mana-mana, sentiasa ada aku selitkan dalam diari aku, sebagai reminder kepada diri aku...

8. Mungkin korang pernah agak, nama aku memang Ezra... tapi, nama penuh tu, cari sendiri lah... cuma, ramai kot orang nama Ezra kat dunia ni even in Malaysia itself.

9. Truth to be told, aku akui yang aku kadang-kadang rindukan Khai... and bila aku rindukan dia, aku akan baca balik chapter 41, sebab itu memori terakhir aku dengan dia dan itu kali terakhir aku lihat dia tersenyum... 

10. Ada pembaca aku yang marah2 dekat Skype berkenaan dengan certain chapter, terutamanya part yang mana kami accident, or part aku dapat tahu aku seorang HIV+

11. Kalau aku baca balik dari awal sampai akhir, sebenarnya banyak gila hint yang aku berikan tentang diri aku sebenarnya... hahaha... cuma, tak yah lah try cari siapa aku yek... hahahaha...

12. Story line cerita ni memang sengaja aku buat ada flash back semua... 

13. Sebenarnya cerita ini hanya berkenaan hidup aku sehingga pertengahan tahun 2013... so, macam aku cakap, timeline dia agak memeningkan kepala....

14. Last but not least, aku sekarang bukan di Malaysia, dah hampir beberapa tahun merantau di tempat orang selepas apa yang terjadi... kali terakhir aku balik adalah hanya untuk beberapa hari selepas aku tamat master dan untuk menziarahi kubur dan juga abang Kamahl...
There you go... hope you guys enjoy it... thanks a bunch...

February 08, 2015

Dia - Lima Puluh Dua - Akhir

L
ima Puluh Dua
Truth to be told, I felt like shit. Seriously, I wished that I could just stay on bed, doing nothing but hiding under the blanket and hoping that it was just another vivid nightmare from Stocrin. Yeah, I pinched my left arms and it hurts... it hurts like hell... i wonder, and i keep on wondering, if it will actually stop...

To tell you the truth, I have a strong feeling who did this. Yeah, I don’t have to be a seer or rocket scientist to find out who that person was. But, what baffled me the most was, for what? What would be the reason that drives his this far... You know what, I don’t give a damn on what his reason would be. It would be just a waste of time, and energy, and certainly he doesn’t deserve my attention at all. The bean has been spilled, and all I can do is see how it goes, then only I should plan my way out of this mess.

Selimut yang menyelubungi ku ku selak, lantas ku bingkas bangun dan mencapai kotak rokok dunhill yang tersedia di atas meja. Kunyalakan sebatang sebelum aku yang hanya memakai boxer brief berwarna dark grey bergerak menuju ke peti sejuk untuk mengambil segelas susu sebelum ke balkoni. Langit masih lagi gelap, namun, di penghujung sana kelihatan bibit cahaya matahari yang perlahan menerangi suasana. Kulihat kebawah, lampu-lampu jalan masih lagi bernyala, menunggu masa untuk di padamkan. Kereta yang kelihatan kecil dari sini bergerak dari satu arah ke arah yang lain. Kepulan asap dari rokok di jariku seakan-akan menari-nari, tanpa irama yang mengiringinya...

Aku akui, kadang-kala aku ingin lari dari semua ini... ingin sahaja aku pergi jauh dari segala hiruk-pikuk kehidupan yang menggamatkan. Namun, untuk berlari ke mana, aku tidak tahu kemana harus kaki ku bawa. Jiwa dan mindaku seakan-akan senantiasa berperang untuk mengambil alih kesedaranku. Acap kali jiwaku berbisik, aku harus pergi jauh, pergi ke suatu tempat yang mana tiada siapa mengetahui namaku, kisah hidup ku, mahupun menyedari akan kehadiranku. Ya, at times, I was tempted to do that. Namun, mindaku sering kali menyanggah akan bisikan hatiku. Tiada sebab untuk aku lari dari semua ini. Ini bukan kehendakku dan ini tidak akan menyelesaikan apa-apa. Lagipun, jika aku menuruti kata hati, jika aku lari dan pergi dari sini, itu hanyalah menunjukan yang aku bersalah.

“Hey.” Kedengaran suara Zach, aku menoleh kebelakang, kelihatan Zach bersandar di antara ruang sliding door dan dinding yang ku tinggalkan terbuka seketika tadi.

“You’re up early.” Tambah Zach lagi.

“Yeah.” Balasku pendek.

“Can’t sleep, huh?”

“A little.”

“So... you wanna talk about it?”

“About what?”

“Anything.”

“I don’t think I have anything to talk about.”

“Ok.”

Setelah beberapa ketika tiada sebarang kata yang keluar dari mulut kami, aku menghulurkan kotak rokok ku kepada Zach, “Cigg?”

“Sure.”

“You don’t mind?”

“Actually, I do.”

“And yet you’re still standing here.”

“Not about your status.”

“Then, about what?”

“About this, whole, storm in a tea cup. I’m surprised, I’m disgusted. To think that I would be in the middle of this, this, this, hatred and discrimination in 21st century.”

“In case you’re wondering, living in the 21st century doesn’t guarantee the entire humanity behaved that way.”

“Ironic, isn’t it? A stupid one on top.”

“Welcome to the real world.”

“So, what’s next?”

“Let’s just ride the flow, for now.”

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku sedang menyediakan test case untuk sistem yang sedang di bina apabila suatu mesej whatsapp masuk.

“Not coming to the meeting?” mesej dari Zach.

“What meeting?”

“The project management meeting. Didn’t you get the email yesterday from Jason?”

“Nope.”

“I’ll ask him. We are still waiting for several people anyway. I’ll let you know.”

It’s been 20 minutes. Nothing. Tiada sebarang berita dari Zach. Mataku sedari tadi tidak beralih dari screen monitor komputer ku yang menunjukan paparan Team Foundation Server. Tangan kiriku mencapai mug dan lantas, ku halakan ke mulut. Herm, air kopi dah habis. Aku bingkas bangun dan menuju ke pantry. Namun, langkah aku terhenti. Pelik, ikutkan kata Zach, itu project management meeting. Tapi, aku seorang sahaja yang di sini. Mana yang lain? Even mereka yang bekerja untuk project lain tiada di tempat masing-masing. I wonder...

Kelihatan mereka yang lain keluar dari meeting room sewaktu aku berjalan ke mejaku dari pantry. Zach menuju kearahku. Mukanya merah padam. Riak wajahnya agak marah.

“What happened? You look pissed.” Kataku kepada Zach.

“I can’t believed what happened just now. It was absurd.”

“Oi bloke, what happened just now?”

“They talked as if they knew everything. As if they are the victims. And worst of all, they claimed it was all facts.”

Aku menggenggam kedua belah bahu Zach, lantas, “Tell. Me. What. Happen. Nothing else.”

“Sorry. They were discussing about....” belum sempat Zach menghabiskan ayatnya, aku terdengar namaku di panggil.

“Ezra, I need you in the meeting room.” Kata Mr. Jason.

“Sure, give me a second.”

“I need you now.”

Aku duduk di meja meeting bersama-sama beberapa yang lain. Mr. Jason HOD ku, Mr. Faez project manager, Mr. Norsham HR manager dan juga Mr. Omar, deputy director kami. Somehow, I felt like I’m having my job interview with all these people sitting right in front of me at this moment.

“You must be wondering why we are all here with you. I hope you didn’t take this personally because for me, I don’t see a point for this conversation.” Kata Mr. Jason.

“And I don’t see a point for that last part of what you just said, Jason.” Tambah Mr. Faez.

“Can you both cut your crap and get to the point. I don’t have much time to waste on this.” Bentak Mr. Omar.

“Very well then. It has come to our attention, that a certain rumour is circulating among all the workers here. Unfortunately, this rumour puts everyone on their edge and we have to put an end to this, uneasiness. I believed that you are aware about this, rumour, that we are referring to.” Kata Mr. Jason lagi.

Aku hanya mengangguk kepalaku.

“Just to be clear, to make sure that we are on the same page, can you tell us what is this rumour all about?” Sampuk Mr. Norsham pula.

Aku memandang genggaman tanganku yang berada di atas meja di hadapanku buat seketika. “It’s about my health status.”

“Be more specific, on the health status.” Mr. Omar bersuara sekali lagi.

“My HIV status.”

“And what do you have to say about it?”

“It’s, half truth.”

“And which part of that, rumour, is the truth?”

“That I’m HIV positive. And it seems that, that statement puts everyone on edge.”

“Indeed. And what about the other half of this rumour, or should I say, half truth?”

“That I’m spreading the virus to everyone? I have yet to recalled anyone whom I passed it to.”

“So you were saying that, that is a lie?”

“Yes.” Balasku.

“And that is the reason we are all here. Faez, you are his immediate superior. What do you have to say with regards to his performance?”

“Mr. Omar, Ezra has been performing well.”

“But it has come to my attention that several months ago, he had close to a week of MCs, in a row, several time on top.” Kata Mr. Norsham pula.

“And what do you have to say about that, Ezra?”

“I was just started on meds at that time, and the side effects wasn’t been so kind on me. Though I must say that it was a thing on the past.”

“How sure of you that it won’t happen again? That this side effects of yours will not be, a problem?”

“I can assure you of that.”

“Can you say it with 100% surety?”

“Can you?”

“I can’t, with 100% surety.”

“Mr. Omar, everyone, it would be unfair for us to expect Ezra to be 100% certain of the future. I don’t think no one in this room can be certain on what’s going to happen later on.” Kata Mr. Jason.

“Jason, I’m sure you understand that his, his, performance issue is just 90% of the reason why we are all here. We still haven’t talk about the remaining 10%, which is the most important part of this conversation.”

“And what would that remaining 10% be?” tanyaku.

“It appears that, most of the people here, would rather not, work with you. Or should I say, afraid, and uncomfortable.”

“Though I must say that I’m not quite understand the reason why would they have that sentiment, it doesn’t strike me as a surprise.”

“They threatened to quit. All of them.”

“I’m sure we can talk to them on this. Some sort like HIV awareness campaign or something.” Kata Mr. Jason.

“Jason, you were in the meeting just now. You knew they are serious.”

“And what is your take on that?” tanyaku kepada Mr. Omar.

“I would rather lose a worker, rather than a whole bunch of them.”

“So, am I fired?”

“No, you are not. But, I will have you resign, immediately.” Balas Mr. Omar.

“Of course, with 6 months salary of compensation.”

“You know Mr. Omar, I could sue you, you, you and the company for discrimination, and wrongful dismissal.”

“You know you wouldn’t do it.”

“Why wouldn’t I?”

“Because that would bring too much attention to yourself. And of course, to your future too.”

“And what makes you think that I care about that? When I am humiliated in such a poor manner? And do you think that I don’t have the qualification and skills to work with other, non-discriminating company?”

“It seems 6 months salary is not enough for you. What about 9 months?”

“A year, on top of this month’s. Nothing less. Straight to my bank account within 2 days.”

“And you will not charge us?”

“If, and only if I receive the amount that I mentioned  within 2 days.”

“I will make sure of that, for our sake.”

“If that is all, I will take my leave.” Kataku lantas bingkas bangun.

“Ezra, I’m sorry for all these. And good luck for your future.” Kata Mr. Jason.

“Thanks Mr. Jason. It’s been great knowing you.”

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah lebih dua tahun selepas aku meninggalkan bumi Malaysia. Selepas apa yang terjadi dahulu, kurasakan lebih baik untuk aku mengikut kata hati yang lara dan pergi jauh. Melarikan diri, mungkin. Patah hati, mungkin. Mencari ketenangan diri, mungkin. Di sini, tiada siapa yang menoleh memandang serong terhadapku. Tiada siapa yang berkata kurang enak di belakangku. Tiada siapa yang mengambil kisah akan kehadiranku. Perhatian, masa dan tenaga ku di tumpukan untuk menghabiskan pelajaran di peringkat Master. Akhirnya, satu lagi hajatku tercapai. Mungkin, kebetulan itu suatu yang telah tersurat bahawa masa telah tiba untuk aku memenuhi keinginan hati.

Aku akui, kadang kala hati ini terdetik untuk pulang. Sudah terlalu lama aku tidak bersua muka dengan mereka yang begitu bermakna di dalam hidupku. Abang Kamahl, nenek, Joe dan yang lain-lain. Namun, senantiasa aku mengendahkan rasa hatiku, mengeraskan benak perasaanku, kerana aku tidak bersedia untuk kembali ke sana. Aku dan abang Kamahl kerap kali berhubungan melalui Skype. Itu syarat yang diberikan kepadaku apabila aku tidak lelah mengatakan tidak kepada persoalan bila aku mahu pulang. Pernah juga dia meminta kebenaranku untuk datang menziarahi, namun, entahlah.

Aku rindukan Khai. Mungkin, aku sedikit mementingkan diri apabila mengambil keputusan ini sendirian. Namun, aku bersyukur aku mengambil keputusan ini. Aku kini lebih matang, tabah dan kuat untuk menghadapi kehidupan yang penuh dugaan dan cabaraan. Keputusan aku untuk meninggalkan segala memori kami bersama di sana, kadang-kadang mencabar ketabahan hatiku. Namun, itulah jalan yang aku pilih, dan aku senang sekarang. Namun, memori itu tetap segar di dalam fikiranku. Setiap saat, kehangatan sentuhanya, kemanisan senyumanya dan bait-bait katanya, tidak pernah aku lupakan. Aku tidak lagi sedih apabila memori itu memutuskan untuk menjengah ke fikiran ku. Aku tahu, dia tetap di hatiku.

Mereka hadir di dalam diriku. Ada yang hanya berlalu pergi seperti mana mereka datang, ada yang singgah sebentar memberikan sebuah erti. Dia hadir di dalam hidupku, mengubah hidupku, mencorak hidupku, menyinari jiwaku. Kini dia telah pergi. Tetapi dia tetap bertakhta di hatiku.

“Ladies and gentlemen, this is Captain Jonathan. We are about to begin descending so please remain seated and fasten your seatbelt. The weather in Kuala Lumpur International Airport is bright sunny. For those who are coming back to Kuala Lumpur, we wish you welcome back and for those who are here for the first time, welcome to Malaysia. On behalf of the crew, I would like to thank you for flying Malaysia Airlines, and we hope to see you again.”
~~Tamat~~